Entah mengapa saya merasa terdorong untuk membuat catatan kecil dari perjalanan saya bersama 6 (enam) orang rekan lainnya ke sebuah kota kecil bernama Purwokerto. Tidak seperti perjalanan ke kota-kota lainnya, perjalanan ke Purwokerto menyisakan kisah menarik sejak rencana keberangkatan sampai kembali beraktivitas dengan sejumlah pekerjaan.
Kota Purwokerto sendiri seketika muncul dari perbincangan singkat di sebuah grup percakapan WA. Bukan karena keistimewaan kota kecil itu. Bukan juga karena rasa penasaran kami akan kota itu. Hal terkuat yang membuat kami memunculkan kota itu adalah keinginan kami untuk belajar. Mengetahui bagaimana seorang pembelajar untuk belajar merupakan keterampilan kognitif yang sangat tinggi. Keinginan kami mempelajari sesuatu, menutup mata kami tentang kepada siapa kami belajar. Yang pasti, ada sesuatu yang ingin kami pelajari. Maka, semangat yang tumbuh bukan karena ingin traveling atau sekadar menghabiskan sisa anggaran di akhir tahun. Kalau memang demikian, kami pasti memilih kota yang lebih ramai dan sering dijadikan tempat tujuan wisata. Wisata kami di Purwokerto hanya berfoto di depan pintu masuk gerbang Wisata Baturraden. Itu saja.
Kami berangkat dengan perbekalan seadanya. Yang kami siapkan hanya sejumlah pertanyaan beruntun tentang apa rahasianya dan bagaimana melakukannya. Ada banyak hal yang ingin kami ketahui. Ada banyak keinginan yang ingin coba kami sederhanakan. Karena kami menilai, keinginan yang tinggi terkadang hanya terrealisasi beberapa porsi, selebihnya tergerus kenyataan dan kepentingan-kepentingan institusi. Kami berangkat menggunakan kereta. Karena kalau pakai pesawat, dananya tidak ada dan di Purwokerto juga tidak ada bandara. Perjalanan di kereta, menyisakan cerita yang berbeda. Bukan tentang pemandangan di sepanjang perjalanan. Bukan juga tentang pelayan yang lalu lalang menawarkan barang dagangan, air minum, dan nasi goreng yang harus dihangatkan. Ada canda tak berbatas. Ada tawa yang kadang mengganggu penumpang lain yang hendak tidur. Yang terpenting, ada diskusi kecil tentang besarnya cita-cita kami. Tentang komitmen yang kami bangun. Bukan dalam rangka mengabdi kepada orang lain atau mencari pujian dari atasan. Bukan. Kami adalah orang gila yang menerima tawaran pekerjaan yang sama sekali tidak menjanjikan dari sisi penghasilan. Tapi, harus ada beberapa orang dari kami yang mau mengambil peran sebagai pelayan. Bagi sesiapa yang membutuhkan. Mudah-mudahan bermanfaat bagi sesama ummat.
Sampailah kami di stasiun Purwokerto. Kami mendapatkan sambutan luar biasa. Dijemput dengan dua mobil Avanza. Lalu menyusur sempitnya jalan Kota, dan berhenti untuk makan malam di warung tenda. Hidangan pertama yang kami nikmati adalah SOP. Pikiran kami berimajinasi mengenai prosedur akademik di kampus kami. Ah, ternyata kami baru bermimpi sementara saudara kecil kami sudah berlari.
Kami tidur di sebuah hotel yang sebenarnya lebih pantas disebut losmen. Beberapa jam saja kami tidur di sana. Karena keesokan harinya, setelah sarapan ala prasmanan pernikahan, kami melaju ke tempat tujuan menggunakan hanya satu buah mobil saja. Kami berdelapan berdesak-desakan. Tak apalah, sudah terbiasa dengan tekanan. Ambil positifnya saja. Karena akhirnya kami merasa saling berdekatan.
Sampai di tempat tujuan. Sebuah kampus hijau toska atau telor asin khas Brebes. Disambut langsung oleh Rektor, Wakil Rektor I, Dekan, Wakil Dekan I, dan para ketua jurusan. Entahlah, apakah memang Pa Rektor sedang tidak ada pekerjaan sehingga punya waktu untuk menemui kami yang bukan siapa-siapa ini. Pertemuan berjalan hangat. Banyak guyon yang mengakrabkan. Lalu dilanjutkan dengan penandatanganan MoU kedua perguruan. Dan berkunjung ke jurusan-jurusan untuk mendapatkan pengalaman.
Perjalanan kami membuahkan sebuah simpulan. Bahwa kerja membangun reputasi institusi tidak bisa dilakukan hanya dengan saling lempar pekerjaan, kewenangan, dan tanggung jawab. Semuanya hanya dapat dilakukan dengan bekerjasama mengatasi satu kepentingan. Bahu membahu membangun peradaban yang dampaknya akan dirasakan mungkin bukan oleh kita tapi oleh beberapa generasi di hadapan.
Maknailah perjalanan kami sebagai bentuk kecintaan kami terhadap institusi dan lulusan. Jangan maknai sebagai permintaan yang tak beralasan, atau keinginan yang berseberangan dengan kepentingan reputasi institusi. Lihatlah bahwa kami punya harapan, cita-cita, dan keinginan. Semoga kita semua juga memiliki harapan, cita-cita, dan keinginan yang sama dan sejalan.
Serang, 6 Desember 2017