Semua warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Tanpa terkecuali juga mereka yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, kecerdasan dan bakat istimewa maupun mereka yang tinggal di daerah terpencil atau terbelakang. Sebagaimana dalam Undang-Undang Sisdiknas Bab IV bagian kesatu Hak dan Kewajiban Warga Negara pasal 5 ayat 1, 2, 3 dan 4 dijelaskan bahwa;
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (Permendiknas No. 70, 2009: 1-2).
Untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, melayani semua kebutuhan peserta didik sebagaimana bunyi pasal di atas, maka diperlukan sebuah model pendidikan terpadu atau model pendidikan yang melayani peserta didik normal dan berkebutuhan khusus dalam satu lingkungan lembaga pendidikan. Model pendidikan yang seperti itu saat ini kita kenal dengan model pendidikan inklusif.
Model pendidikan inklusif adalah model pendidikan yang memberikan layanan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses pembelajaran bersama-sama dengan peserta didik yang normal dalam satu lingkungan pendidikan yang dikenal dengan sekolah inklusif. (Permendiknas No. 70, 2009: 1-2); (Nurdayanti Praktiningrum, 2010: 34)
Sekolah inklusif bukanlah Sekolah Luar Biasa yang mengekslusifkan peserta didik, namun sekolah inklusif adalah sekolah reguler yang juga menerima pesertra didik berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan peserta didik yang normal (Isharwiti, 2010: 1). Model sekolah inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuanya serta bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, menghapus diskriminatif dalam proses pendidikan.
Model sekolah inklusif merupakan hal baru di Indonesia. Hal ini didasarkan pada beberapa regulasi pemerintah. Pertama, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa disahkan pada 5 Oktober 2009. Kedua, Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 6 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di Jawa Timur disahkan pada tanggal 25 Januari 2011. Ketiga, Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 72 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif disahkan pada tahun 2013. Keempat, Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 21 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif disahkan pada tanggal 15 Maret 2013. Kelima, kurikulum di negara kita belum didesain secara khusus untuk program pendidikan inklusif.
Selain itu lembaga pendidikan di Indonesia belum seluruhnya menyelenggarakan program pendidikan inklusif, hanya sebagian sekolah di Indonesia yang sudah menyelenggarakan pendidikan inklusif. Terdapat 32 ribu sekolah reguler yang menjadi sekolah inklusif di berbagai daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dari 1,6 juta ABK di Indonesia, baru 18% yang sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusif. Sekitar 115 ribu ABK bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), sedangkan ABK yang bersekolah di sekolah regular pelaksana sekolah inklusif berjumlah sekitar 299 ribu. Masih rendahnya jumlah ABK yang mendapatkan layanan ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya anak yang tidak ingin bersekolah, orang tua yang kurang mendukung pendidikan bagi anaknya, akses sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggal ABK, dan lain sebagainya.
Kementerian Agama sudah sepantasnya turut dalam pengembangan pendidikan inklusif. Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah menyebutkan bahwa madrasah wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Melalui Direktorat Pendidikan Madrasah, Kementerian Agama bertekad mengembangkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (difabelitas) atau dikenal dengan pendidikan inklusif. Pada tahun 2015, madrasah mulai mencoba menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan bantuan Australian Agency for International Development (AusAID).
Banten merupakan salah satu propinsi yang menjadi pilot project dalam pengembangan pendidikan inklusif di madrasah. Di propinsi ini terdapat 86 lembaga sekolah untuk ABK yang terdiri dari 7 SLB negeri dan 79 SLB swasta. Jumlah siswa berkebutuhan khusus sebanyak 38 ribu dan hanya 4 ribu yang terlayani (10,52%). Untuk pendidikan inklusif, terdapat 53 SD dan 4 SMP yang melayani ABK yang tersebar pada 4 kabupaten/kota di Propinsi Banten. Data madrasah inklusif secara formal belum ada, walaupun sudah ada beberapa madrasah yang sudah menerima ABK.
Padahal, seharusnya lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah harus mengimplementasikan pendidikan inklusif lebih awal dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lainnya, karena dalam ajaran Agama Islam dalam Surat ‘Abasa ayat 1-10 dijelaskan bahwa kita dilarang untuk mengabaikan seseorang yang cacat datang kepada kita untuk belajar suatu ilmu.
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling; karena telah datang seorang buta kepadanya; tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa); atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup; Maka kamu melayaninya.; Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman); dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran); sedang ia takut kepada (Allah); Maka kamu mengabaikannya.
Ayat di atas berkenaan dengan suatu peristiwa yang terjadi pada Nabi Muhammad yang pada saat itu didatangi seorang yang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah S.A.W. meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah S.A.W. bermuka masam dan berpaling darinya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah. Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah mengemban visi sebagai lembaga yang mempersiapkan calon-calon guru Madrasah Ibtidaiyah perlu membekali seluruh sivitas akademika baik itu dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan dengan pengetahuan dan pemahaman yang utuh mengenai pendidikan inklusif yang meliputi: 1) paradigma dan komponen penting dalam pengembangan pendidikan inklusif di madrasah; dan 2) strategi implementasi pendidikan inklusif di madrasah. Oleh karena itu, Jurusan PGMI berupaya membekali pengetahuan awal sivitas akademika mengenai penyelenggaraan Pendidikan inklusif di madrasah ibtidaiyah yang meliputi komponen pengembangan dan strategi implementasi Pendidikan inklusif di madrasah ibtidaiyah dalam bentuk seminar setengah hari melalui moda daring (webinar).
Webinar menghadirkan dua narasumber dan moderator yang secara keilmuan dan praktik merupakan sosok-sosok yang sangat mumpuni.
Paradigma dan komponen penting dalam pengembangan pendidikan inklusif di Madrasah Ibtidaiyah (klik untuk mengunduh materi)
??Ro’fah, S.Ag., BSW., MA., Ph.D. ??
Konsultan INOVASI dan Tim Penyusun Roadmap Pengembangan Madrasah Inklusif
Strategi implementasi pendidikan inklusif di Madrasah Ibtidaiyah (klik untuk mengunduh materi)
??Supriyono, S.Pd.I, M.Pd ??
Anggota Tim Penyusun Standar Nasional Pendidikan Khusus BSKAP, Kemdikbudristek dan Trainer Pendidikan Inklusif, LP. Maarif NU PWNU Jawa Tengah
Materi Webinar dapat diunduh dengan cara mengklik tautan di atas.